Wednesday, April 27, 2016

PMII , Sejarah dan Masa Depan

Panggung pergerakan merupakan medan utama mahasiswa dalam menancapkan api perjuangan di Nusantara. Sejak dirangkai oleh visi kemerdekaan, dunia pemuda dan mahasiswa tidak hanya jadi penonton “hitam putihnya Indonesia” yang baru lepas dari belenggu kolonialisme. Hasrat yang kuat untuk membangun bangsa yang berkeadilan tanpa diskriminasi dan berperadaban adalah isu utama kebangsaan yang diusung oleh mahasiswa.

Sejarah mencatat, gerakan mahasiswa awal yang dipelopori oleh sekelompok mahasiswa STOVIA yang mendeklarasikan dirinya sebagai kelompok Budi Utomo ( 20 Mei 1908 ) mampu memelopori perlawanan terhadap kungkungan kolonialisme terhadap bangsa. Mahasiswa pada saat itu mampu mengejawantahkan dirinya sebagai agent of change yang terus bergeliat mencari makna ke arah perubahan yang lebih baik.

Pada dekade 1920-an, terdapat fenomena gerakan baru yang dilakukan oleh serombongan mahasiswa Indonesia. Gerakan mahasiswa pada masa ini terkonsentrasi pada wilayah pembentukan dan pengembangan kelompok-kelompok studi. Format baru tersebut menjadi orientasi gerakan kala itu, karena banyak pemuda dan mahasiswa yang kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia. Melalui kelompok studi, pergaulan di antara para mahasiswa pun tidak dibatasi oleh sekat-sekat kedaerahan, kesukuan, dan keagamaan yang mungkin memperlemah perjuangan mahasiswa.

Selanjutnya, sebagai reaksi atas aneka-ragam kecenderungan permusuhan atau perpecahan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dimana ketika itu, di samping organisasi politik, juga memang terdapat beberapa wadah perjuangan pemuda yang bersifat keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan yang tumbuh subur, seperti Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Jong Celebes, Jong Ambon, Jong Batak, Jong Islamieten Bond, dan lain-lain. Maka semangat perjuangan pemuda-pemuda Indonesia tersebut harus tercetuskan dalam satu tekad tanpa sekat. Akhirnya, pada 27-28 Oktober 1928 diselenggarakan Kongres Pemuda II, yang menghasilkan rumusan-rumusan baru untuk menyikapi kondisi bangsa. Sumpah setia hasil Kongres Pemuda II tersebut, dibacakan pada 28 Oktober 1928, yang kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda inilah, muncul generasi baru pemuda Indonesia, angkatan 1928. Sumpah Pemuda sebagai alat pemersatu semangat kebangsaan mampu mempersatukan tekad para pemuda untuk bersama dan bersatu dalam semangat persatuan Indonesia.

Era 1940-an, para pemuda dan mahasiswa tidak hanya diam terpaku melihat kondisi realitas bangsa yang carut marut tanpa kepastian. Pada tahun 1945, pemuda dan mahasiswa mencoba untuk menyatukan persepsi dan segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia. Melalui kalangan tua, Soekarno dan Hatta, yang didesak beberapa tokoh muda untuk segera merumuskan persiapan kemerdekaan Indonesia, akhirnya mengabulkan keinginan para pemuda. Dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada momentum inilah, fungsi gerakan pemuda Indonesia benar-benar menunjukkan partisipasi yang sangat berarti. Indonesia merdeka yang menjadi impian bangsa Indonesia kini telah terwujud.

Tidak berhenti sampai disini. Paska kemerdekaan Indonesia, pemuda dan mahasiswa terus bergerak untuk berbenah, menyikapi kondisi bangsanya melalui sistim kepartaian yang ada. Seiring dengan suasana Indonesia pada masa-masa awal kemerdekaan hingga Demokrasi Parlementer, yang lebih diwarnai perjuangan partai-partai politik dan saling bertarung berebut kekuasaan, maka pada saat yang sama, mahasiswa lebih melihat diri mereka sebagai The Future Man; artinya, sebagai calon elit yang akan mengisi pos-pos birokrasi pemerintahan yang akan dibangun.

Bersamaan dengan diberikannya ruang dalam sistem politik bagi para aktivis mahasiswa yang memiliki hubungan dekat dengan elit politik nasional. Maka pada masa ini banyak organisasi mahasiswa yang tumbuh berafiliasi dengan partai politik. Hingga berujung pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), dan keinginan pemerintahan Soekarno untuk mereduksi partai-partai, maka kebanyakan organisasi mahasiswa pun membebaskan diri dari afiliasi partai dan tampil sebagai aktor kekuatan independen, sebagai kekuatan moral maupun politik yang nyata. Dibuktikan dengan terbentuk dan tergabungnya organisasi mahasiswa (termasuk PMII, GMKI, HMI, Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal -SOMAL-, Mahasiswa Pancasila -Mapancas-, dan Ikatan Pers Mahasiswa -IPMI-) dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) untuk melakukan perlawanan terhadap paham komunis, memudahkan koordinasi dan memiliki kepemimpinan.

Karena sikap pemerintah yang otoriter, serta terjadinya pemberontakan 30 September 1965, menyebabkan pemerintahan Demokrasi Terpimpin mengalami keruntuhan. Berakhirnya rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno tersebut, memulai babak baru perjalanan bangsa Indonesia, dengan kepemimpinan Soeharto, yang kemudian dikenal dengan rezim Orde Baru.

Pada era 1970-an (era rezim Orde Baru), pemuda dan mahasiswa Indonesia mengalami distorsi gerakan. Sikap konfrontasi mahasiswa terhadap pemerintahan yang korup, berujung pada permainan rekayasa dan kebijakan kooptasi pemerintahan Orde Baru, yang mencoba mempertahankan status quo. Selanjutnya, melalui kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus, gerakan mahasiswa benar-benar tereduksi oleh sikap otoritarianisme penguasa. Akibatnya mahasiswa hanya disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus, di samping kuliah sebagai rutinitas akademik serta dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, dis natalis, acara penerimaan mahasiswa baru dan wisuda sarjana.

Dengan semakin termarjinalnya gerakan mahasiswa dalam pentas kontrol sosial-politik Indonesia, akhirnya pada era berikutnya, gerakan mahasiswa mengalami power disaccumulation, yang kemudian melahirkan angkatan baru, yaitu angkatan 1990-an. Adalah satu keberanian menggulirkan diskursus gerakan mahasiswa 1990-an di tengah kehancuran politik mahasiswa, yang disebabkan oleh kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus. Namun gerakan tersebut perlahan mulai kembali menggelinding bersamaan dengan isu SDSB. Bahkan dalam perkembangannya, keberhasilan gerakan mahasiswa dalam isu SDSB harus diakui berhasil meskipun sedikit tertolong oleh power block politic yang ada.

Lahirnya gerakan mahasiswa 1998 dengan segala keberhasilannya meruntuhkan kekuasaan rezim Orde Baru, adalah merupakan akibat dari akumulasi ketidakpuasan dan kekecewaan politik yang telah bergejolak selama puluhan tahun dan akhirnya “meledak”. Secara obyektif situasi pada saat itu, sangat kondusif bagi gerakan mahasiswa berperan sebagai agen perubahan. Krisis legitimasi politik yang sudah diambang batas, justru terjadi bersamaan dengan datangnya badai krisis moneter di berbagai sektor. Di sisi lain secara subyektif, gerakan mahasiswa 1998 telah belajar banyak dari gerakan 1966 dengan mengubah pola gerakan dari kekuatan ekslusif ke inklusif dan menjadi bagian dari kekuatan rakyat.

Sasaran dari tuntutan “Reformasi” gerakan mahasiswa dan kelompok-kelompok lain yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru, antara lain adalah perubahan kepemimpinan nasional. Soeharto harus diruntuhkan dari kekuasaan, karena tidak akan ada reformasi selama Soeharto masih berkuasa. Namun demikian, kenyataan menunjukkan suara-suara kritis yang menuntut perubahan tidak mendapatkan jawaban dari rezim penguasa, sebagaimana yang diharapkan. Terlebih oleh Golongan Karya (Golkar), yang dengan enteng mencalonkan kembali Soeharto.

Perjalanan panjang gerakan mahasiswa akhirnya mencapai puncaknya pada Mei 1998, dengan indikasi turunnya kekuatan otoriter di bawah kepemimpinan Soeharto. Namun keberhasilan yang mengesankan ini tampaknya tidak dibarengi oleh kesiapan jangka panjang gerakan mahasiswa. Berbagai kontroversi kemudian timbul di masyarakat, berkenaan dengan pengalihan kekuasaan ini.

Pertama, pandangan yang melihat hal itu sebagai proses inkonstitusional dan sebaliknya pandangan kedua, beranggapan bahwa langkah tersebut sudah konstitusional.

Menyambut turunnya Soeharto, sejenak mahasiswa benar-benar diliputi kegembiraan. Perjuangan mereka satu langkah telah berhasil, tetapi kemudian timbul keretakan di antara kelompok-kelompok mahasiswa mengenai sikap mahasiswa terhadap peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie.

Paska reformasi 1998, tampak terlihat masih amburadulnya konsolidasi gerakan mahasiswa. Gerakan mahasiswa tahap selanjutnya mengalami krisis identitas. Perbedaan visi yang muncul pada gerakan mahasiswa seringkali mengarah pada persoalan friksi-friksi yang sifatnya teknis. Kenyataan demikian menyebabkan friksi-friksi gerakan mahasiswa kehilangan arah dan bentuk. Hal ini menyebabkan sejumlah gerakan mahasiswa harus melakukan konsolidasi internal organisasi. Konsolidasi internal ini sebagai upaya untuk mencari format baru gerakan mahasiswa dalam konstalasi politik yang baru pula. Disamping itu, konsolidasi internal ditujukan agar gerakan mahasiwa harus lebih introspeksi diri terhadap apa yang dilakukan. Upaya konsolidasi internal ini bukan berarti menegasikan dinamika politik sekitar, akan tetapi, konsolidasi internal ini agar lebih tepat, baik secara strategis dan taktis untuk melakukan gerakan kedepan.

REFLEKSI PMII SEBAGAI ORGANISASI KEMAHASISWAAN

Sepintas Sejarah Lahir PMII

Dokumen Sejarah menjadi sangat penting untuk ditinjau ulang sebagai referensi atau cerminan masa kini dan menempuh masa depan, demikian halnya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organisasi kemahasiswaan yang gerak perjuangannya adalah membela kaum mustadh’afin serta membangun kebangsaan yang lebih maju dari berbagai aspek sesuai dengan yang telah dicita-citakan.

Latar belakang berdirinya PMII terkait dengan kondisi politik pada PEMILU 1955, berada di antara kekuatan politik yang ada, yaitu MASYUMI, PNI, PKI dan NU. Partai MASYUMI yang diharapkan mampu untuk menggalang berbagai kekuatan umat Islam pada saat itu ternyata gagal. Serta adanya indikasi keterlibatan MASYUMI dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (PERMESTA) yang menimbulkan konflik antara Soekarno dengan MASYUMI (1958). Hal inilah yang kemudian membuat kalangan mahasiswa NU gusar dan tidak enjoy beraktivitas di HMI (yang saat itu lebih dekat dengan MASYUMI), sehingga mahasiswa NU terinspirasi untuk mempunyai wadah tersendiri “di bawah naungan NU”, dan di samping organisasi kemahasiswaan yang lain seperti HMI (dengan MASYUMI), SEMMI (dengan PSII), IMM (dengan Muhammadiyah), GMNI (dengan PNI) dan KMI (dengan PERTI), CGMI (dengan PKI).

Proses kelahiran PMII terkait dengan perjalanan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), yang lahir pada 24 Februari 1954, dan bertujuan untuk mewadahi dan mendidik kader-kader NU demi meneruskan perjuangan NU. Namun dengan pertimbangan aspek psikologis dan intelektualitas, para mahasiswa NU menginginkan sebuah wadah tersendiri. Sehingga berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdhatul Ulama (IMANU) pada Desember 1955 di Jakarta, yang diprakarsai oleh beberapa Pimpinan Pusat IPNU, diantaranya Tolchah Mansyur, Ismail Makky dll.

Namun akhirnya IMANU tidak berumur panjang, karena PBNU tidak mengakui keberadaanya. Hal itu cukup beralasan mengingat pada saat itu baru saja dibentuk IPNU pada tanggal 24 Februari 1954, “apa jadinya kalau bayi yang baru lahir belum mampu merangkak dengan baik sudah menyusul bayi baru yang minta diurus dan dirawat dengan baik lagi.”.

Dibubarkannya IMANU tidak membuat semangat mahasiswa NU menjadi luntur, akan tetapi semakin mengobarkan semangat untuk memperjuangkan kembali pendirian organisasi, sehingga pada Kongres IPNU ke-3 di Cirebon, 27-31 Desember 1958, diambillah langkah kompromi oleh PBNU dengan mendirikan Departemen Perguruan Tinggi IPNU untuk menampung aspirasi mahasiswa NU. Namun setelah disadari bahwa departemen tersebut tidak lagi efektif, serta tidak cukup kuat menampung aspirasi mahasiswa NU (sepak terjang kebijakan masih harus terikat dengan struktural PP IPNU), akhirnya pada Konferensi Besar IPNU di Kaliurang, 14-16 Maret 1960, disepakati berdirinya organisasi tersendiri bagi mahasiswa NU dan terpisah secara struktural dengan IPNU. Dalam Konferensi Besar tersebut ditetapkanlah 13 orang panitia sponsor untuk mengadakan musyawarah diantaranya adalah:

1. A. Cholid Mawardi (Jakarta).
2. M. Said Budairi (Jakarta).
3. M. Subich Ubaid (Jakarta).
4. M. Makmun Sjukri, BA (Bandung).
5. Hilman (Bandung).
6. H. Ismail Makky (Yogyakarta).
7. Munsif Nachrowi (Yogyakarta).
8. Nurul Huda Suaidi, BA (Surakarta).
9. Laili Mansur (Surakarta).
10. Abdul Wahab Djaelani (Semarang).
11. Hizbullah Huda (Surabaya).
12. M. Cholid Marbuko (Malang).
13. Ahmad Husein (Makassar).

Lalu berkumpulah tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi IPNU tersebut untuk membahas tentang nama organisasi yang akan dibentuk.

Sebelum musyawarah berlangsung, beberapa orang dari panitia tersebut meminta restu kepada Dr. KH. Idham Cholid, Ketua Umum PBNU, untuk mencari pegangan pokok dalam pelaksanaan Musyawarah, mereka adalah Hizbullah Huda, M. Said Budairi dan Makmun Sjukri. Dan akhirnya mereka mendapatkan lampu hijau, beberapa petunjuk, sekaligus harapan agar menjadi kader partai NU yang cakap dan berprinsip ilmu untuk diamalkan serta berkualitas takwa yang tinggi kepada Allah SWT.

Akhirnya, pada tanggal 14-16 April 1960 dilaksanakan Musyawarah Nasional Mahasiswa NU bertempat di Taman Pendidikan Puteri Khadijah Surabaya dengan dihadiri mahasiswa NU dari berbagai penjuru kota di Indonesia, dari Jakarta, Bandung, Semarang, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Malang dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat itu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Delegasi Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII.

Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan Kongres. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari “P” apakah Perhimpunan atau Persatuan. Akhirnya disepakati huruf “P” merupakan singkatan dari Pergerakan, sehingga PMII adalah “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PMII, serta memilih dan menetapkan Kepengurusan. Terpilih Sahabat Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, M. Chalid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII.

PMII dideklarasikan secara resmi pada tanggal 17 April 1960 Masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Maka secara resmi pada tanggal 17 April 1960 dinyatakan sebagai hari lahir PMII. Dua bulan setelah berdiri, pada tanggal 14 Juni 1960 pucuk pimpinan PMII disahkan oleh PBNU. Sejak saat itu PMII memiliki otoritas dan keabsahan untuk melakukan program-programnya secara formal organisatoris.

Dalam waktu yang relatif singkat, PMII mampu berkembang pesat sampai berhasil mendirikan 13 cabang yang tersebar di berbagai pelosok Indonesia karena pengaruh nama besar NU. Dalam perkembangannya PMII juga terlibat aktif, baik dalam pergulatan politik serta dinamika perkembangan kehidupan kemahasiswaan dan keagamaan di Indonesia (1960-1965).

Pada 14 Desember 1960 PMII masuk dalam PPMI dan mengikuti Kongres VI PPMI (5 Juli 1961) di Yogyakarta sebagai pertama kalinya PMII mengikuti kongres federasi organisasi ekstra universitas. Peran PMII tidak terbatas di dalam negeri saja, tetapi juga terlibat dalam perkembangan dunia internasional. Terbukti pada bulan September 1960, PMII ikut berperan dalam Konferensi Panitia Forum Pemuda Sedunia (Konstituen Meeting of Youth Forum) di Moscow, Uni Soviet. Tahun 1962 menghadiri seminar World Assembly of Youth (WAY) di Kuala Lumpur, Malaysia. Festival Pemuda Sedunia di Helsinki, Irlandia dan seminar General Union of Palestina Student (GUPS) di Kairo, Mesir.

Di dalam negeri, PMII melibatkan diri terhadap persoalan politik dan kenegaraan, terbukti pada tanggal 25 Oktober 1965, berawal dari undangan Menteri Perguruan Tinggi Syarif Thoyyib kepada berbagai aktifis mahasiswa untuk membicarakan situasi nasional saat itu, sehingga dalam ujung pertemuan disepakati terbentuknya KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang terdiri dari PMII, HMI, IMM, SEMMI, dan GERMAHI yang dimaksudkan untuk menggalang kekuatan mahasiswa Indonesia dalam melawan rongrongan PKI dan meluruskan penyelewengan yang terjadi. Sahabat Zamroni sebagai wakil dari PMII dipercaya sebagai Ketua Presidium. Dengan keberadaan tokoh PMII di posisi strategis menjadi bukti diakuinya komitmen dan kapabilitas PMII untuk semakin pro aktif dalam menggelorakan semangat juang demi kemajuan dan kejayaan Indonesia.

Usaha konkrit dari KAMI yaitu mengajukan TRITURA dikarenakan persoalan tersebut yang paling dominan menentukan arah perjalanan bangsa Indonesia. Puncak aksi yang dilakukan KAMI adalah penumbangan rezim Orde Lama yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru, yang pada awalnya diharapkan untuk dapat mengoreksi penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan Orde Lama dan bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen sebagai cerminan dari pengabdian kepada rakyat.

Pemikiran-pemikiran PMII mengenai berbagai masalah nasional maupun internasional sangat relevan dengan hasil-hasil rumusan dalam kongresnya antara lain yaitu :

1. Kongres I Solo, 23-26 Desember 1961 menghasilkan Deklarasi Tawang Mangu yang mengangkat tema Sosialisme Indonesia, Pendidikan Nasional, Kebudayaan dan Tanggungjawabnya sebagai generasi penerus bangsa.
2. Kongres II di Yogyakarta, 25-29 Desember 1963 penegasan pemikiran Kongres I dan dikenal sebagai Penegasan Yogyakarta dan sebelumnya ditetapkan 10 Kesepakatan Ponorogo 1962 (sebagai bukti kesadaran PMII akan perannya sebagai kader NU).

Dibalik Nama PMII

Nama PMII merupakan usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya yang mendapat dukungan dari utusan Surakarta. Nama PMII juga mempunyai arti tertentu. Makna “Pergerakan” adalah dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya yaitu memberi penerang bagi alam sekitarnya. Oleh karena itu PMII harus terus berkiprah menuju arah yang lebih baik sebagai perwujudan tanggungjawabnya pada lingkungan sekitarnya. Selain itu PMII juga harus terus membina dan mengembangkan potensi ketuhanan dan kemanusiaan agar gerak dinamika menuju tujuanya selalu berada dalam kualitas kekhalifahanya.

Makna “Mahasiswa” adalah generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai identitas diri. Identitas diri mahasiswa terbangun oleh citra sebagai Insan Religius, Insan Akademis, Insan Sosial dan Insan Mandiri. Dari identitas tersebut terpantul tanggungjawab keagamaan, intelektualitas, sosial-kemasyarakatan dan tanggungjawab individu sebagai hamba Allah maupun sebagai warga Negara.

Makna “Islam” yang dipahami sebagai paradigma Ahlussunnah Wal Jamaah yaitu konsep pendekatan terhadap ajaran agama Islam secara proporsional terhadap Iman, Islam dan Ihsan, yang di dalam pola pikir dan pola perlakuannya tercermin sifat-sifat selektif, akomodatif dan integratif.

Makna “Indonesia” adalah masyarakat, bangsa dan Negara Indonesia yang mempunyai falsafah dan ideologi bangsa serta UUD 1945. Dan mempunyai komitmen kebangsaan sesuai dengan asas Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Independensi PMII Sebuah Pilihan

Seiring dengan perjalanan waktu, perubahan dalam kehidupan tidak dapat terelakkan. Setelah keluarnya SUPERSEMAR 1966, kegiatan demonstrasi massa menurun, hingga akhirnya dilarang sama sekali. Mahasiswa diperintahkan untuk back to campus. Kondisi yang demikian menggeser posisi strategis KAMI menjadi termarjinalkan, sehingga diusahakan untuk mengadakan beberapa rapat mulai 1967 di Ciawi, disusul 11-13 Februari 1969 dengan membahas National Union of Student. Namun usaha-usaha yang dilakukan menemui jalan buntu, hingga akhirnya KAMI bubar dan beberapa anggotanya kembali pada organisasi yang semula.

PMII tetap melakukan gerakan-gerakan moral terhadap kasus dan penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa. Sejak Orde Baru berdiri, kemenangan berada di tangan Partai Golkar dengan dukungan dari ABRI. Perubahan konstalasi politik pun terjadi perlahan dan pasti. Partai-partai politik Islam termasuk NU dimarjinalkan dan dimandulkan. Dan disisi lain kondisi intern NU dilanda konflik internal.

Harus diakui bahwa sejarah paling besar dalam PMII adalah ketika dipergunakannya independensi dalam Deklarasi Murnajati, 14 Juli 1972. Dalam MUBES III tersebut, dilakukan rekonstruksi perjalanan PMII selama 12 tahun. Analisa untung-rugi ketika PMII tetap bergabung (dependen) pada induknya (NU). Namun sejauh itu pertimbangan yang ada tidak jauh dari proses pendewasan. PMII sebagai organisasi kepemudaan ingin lebih eksis di mata bangsanya. Hal ini terlihat jelas dari tiga butir pertimbangan yang melatarbelakangi Independensi PMII tersebut.

* Butir pertama, PMII melihat pembangunan dan pembaharuan, mutlak memerlukan insan Indonesia yang berbudi luhur, takwa kepada Allah, berilmu dan bertanggungjawab, serta cakap dalam mengamalkan ilmu pengetahuanya.
* Butir Kedua, PMII sebagai organisasi pemuda Indonesia, sadar akan peranananya untuk ikut bertanggungjawab bagi keberhasilan bangsa untuk dinikmati seluruh rakyat.
* Butir Ketiga, bahwa PMII yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan idealisme Tawang Mangu, menuntut berkembangnya sifat-sifat kreatif, sikap keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, PMII menyatakan diri sebagai organisasi independen, tidak terikat baik sikap maupun tindakan dengan siapapun, dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional, yang berlandaskan Pancasila.

Deklarasi Murnajati tersebut kemudian ditegaskan kembali dalam Kongres V PMII di Ciloto, 28 Desember 1973. Dalam bentuk Manifesto Independensi PMII yang terdiri dari tujuh butir, salah satu butirnya berbunyi: “…bahwa pengembangan sikap kreatif, keterbukaan dan pembinaan rasa tanggungjawab sebagai dinamika gerakan dilakukan dengan bermodal dan bersifat kemahasiswaan serta didorong oleh moralitas untuk memperjuangkan pergerakan dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.”.

Sampai di sini, belum dijumpai adanya motif lain dari independensi itu, kecuali proses pendewasaan. Hal ini didukung oleh manifesto butir terakhir, yang menyatakan bahwa “dengan independensi PMII tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berdasarkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.”.

Kondisi sosio-akademis, PMII dengan independensinya lebih membuktikan keberadaan dan keabsahannya sebagai organisasi mahasiswa, kelompok intelektual muda yang sarat dengan idealisme, bebas membela dan berbuat untuk dan atas nama kebenaran dan keadilan. Dan bersikap bahwa dunia akademis harus bebas dan mandiri tidak berpihak pada kelompok tertentu. Sedangkan Cholid Mawardi dalam menyikapi independensi ini penuh dengan penentangan, karena ia khawatir PMII tidak lagi memperjuangkan apa yang menjadi tujuan partai NU.

Meskipun independensi ini diliputi dengan pro-kontra yang semakin tajam. Akan tetapi PMII justru memilih independensi sebagai pilihan hidup dan mengukuhkan Deklarasi Murnajati dalam Kongres Ciloto, Medan tahun 1973 yang tertuang dalam Manifesto Independensi PMII. Maka sejak 28 Desember 1973 secara resmi PMII independen dan memulai babak baru dengan semangat baru menuju masa depan yang lebih cerah. Ini berarti PMII mulai terpisah secara strukutural dari NU, tetapi tetap merasa terikat secara kultur dengan ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah sebagai strategi pergerakan.

PMII secara resmi bergabung dengan Kelompok Cipayung (22 Januari 1972) satu tahun setelah Kongres Ciloto, yaitu pada Oktober1974, di bawah kepemimpinan Ketua Umum Drs. HM. Abduh Padare. Dan bergabung secara riil pada Januari 1976 dan dipercaya untuk menyelenggarakan pertemuan ketiga.

Bergabungnya PMII dalam Kelompok Cipayung merupakan perwujudan arah gerak PMII dalam lingkup kemahasiswaan, kebangsaan, dan keislaman. Kerjasama dengan berbagai pihak akan terus dilakukan sejauh masih dalam bingkai visi dan misinya. Terbukti sebelum bergabung dengan kelompok ini PMII juga terlibat aktif dalam proses menentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI).

Setelah PMII independen, selain melakukan aktifitas strategis dalam konstalasi nasional, PMII juga melakukan pola pengkaderan secara sistematis yang mengacu pada terbentuknya pemimpin yang berorientasi kerakyatan, kemahasiswaan dan pembangunan bangsa.

Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya Ikatan Keluarga Alumni Pergerakan Mahasiswa Indonesia (IKAPMI) pada Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) di Ciumbeuleuit, Jawa Barat, 1975. Lahirnya Forum alumni ini merupakan upaya untuk memperkuat barisan PMII dalam gerak perjuangannya. Dan akhirnya forum inipun disempurnakan lagi pada Musyawarah Nasional Alumni 1988 di hotel Orchid Jakarta, menjadi Forum Komunikasi dan Silaturrahmi Keluarga Alumni (FOKSIKA) PMII dan Sahabat Abduh Padere ditunjuk sebagai ketuanya. IKAPMII yang berkantor di Jalan Jeruk, Menteng Jakarta Pusat ini, kerap menjadi titik temu antara alumni PMII yang sudah menjadi “tokoh politik” dengan anggota PMII muda yang butuh transmormasi ilmu dan pengalaman.

Hubungan Interdependensi

Pada perkembanagan lebih lanjut saat Kongres X, pola hubungan PMII dengan NU menjadi interdependen, dimana PMII tetap mempunyai perhatian khusus terhadap NU karena kesamaan kultur dan wawasan keagamaan yang memperjuangkan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah. Beberapa kemungkinan hubungan PMII–NU menjadi interdependen:

1. Kesamaan kultur dan pemahaman keagamaan sebagai ciri perjuangan.
2. Adanya rekayasa politik untuk mengembangkan kekuatan baru.
3. Menghilangkan rasa saling curiga antar tokoh sehingga kader-kader PMII akan lebih mudah memasuki NU setelah tidak aktif di PMII.

Kendatipun demikian PMII memberikan catatan khusus independensinya yaitu bahwa hubungan tersebut tetap memegang prinsip kedaulatan organisasi secara penuh dan tidak saling intervensi baik secara struktural maupun kelembagaan. PMII memanfaatkan hubungan interdependen ini untuk kerjasama dalam pelaksanaan program-program nyata secara kualitatif fungsional dan mempersiapkan sumber daya manusia.

Pada tahun 70-an hingga 90-an, dalam perkembangannya, dunia kemahasiswaan berada dalam kondisi yang tidak kondusif, situasi back to campus lebih riil terjadi. Kebijakan Orde Baru telah memandulkan posisi strategis mahasiswa dan lebih didominasi oleh kekuatan militer dan Golkar. PMII hanya sebatas mampu melakukan pengkaderan secara periodik sesuai dengan progran kerja yang ditetapkan.

Namun awal tahun 90-an, kelompok-kelompok gerakan ekstra universitas secara intensif melakukan diskusi-diskusi dan aksi pendampingan terhadap kasus-kasus yg merebak di masyarakat

*)dari berbagai sumber
*) post- sahabat Azmil Alfarabi

Share:

0 comments:

Post a Comment

PMII On Facebook

Powered by Blogger.

Copyright © PMII Rayon Al-Farabi All Rights Reserved. Created by | PMII RAYON AL-FARABI UNISAMA